Padang(Sumbar)PT-Tujuan penegakan hukum adalah terwujudnya asas kemanfaatan. Contohnya apabila seseorang yang telah selesai menjalankan pemindanaan diharapkan yang bersangkutan setelah kembali ke masyarakat kehidupan kehidupannya menjadi normal,  terbangun kesadaran individu untuk tidak melakukan kesalahan atau melakukan kembali perbuatan melawan hukum atau dengan kata lain ada efek jera.

Pertanyaannya kenapa  orang yang sudah menjalani pemidanaan, kembali melakukan perbuatann melawan hukum, hal ini bisa jadi hak-hak mereka tidak terlindungi, tidak terpenuhinya prinsip penegakan hukum yang berkeadilan, karena sistem pendekatan pemindanaannya retributif (pembalasan). 

Mencermati fenomena dan realitas penegakan hukum di Indonesia selama ini, kecendrungan menerapkan pola pemindanaan pembalasan berdasarakan teori absolut/retributif menjadi pembenaran.

Pendekatan pemidanaan pola retributif  berimplikasi dalam penegakan hukum yang berkeadilan, karena  untuk pembuktian formil dan materil berbagai cara bisa saja dilakukan untuk membuktikan dugaan pelanggaraan, walaupun pada dasarnya lemah untuk diadili, sehingga dipaksakan dalam pembuktian. Dari  titik inilah sering terjadi a buse of power dan berlindung dibalik kewenangan atas nama negara.

Lazimnya sebuah negara demokrasi Pancasila seperti Indonesia, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, sudah seharusnya melakukan perubahan pendekatan penegakan hukum yang  “humanis”. Pendekatan humanis sosial kultural atas keberagaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dengan nilai-nilai kearifan lokal. 

Penegakan hukum yang humanis harus tetap dibandul konstitusi negara UUD 1945, bahwa Indonesia adalah Negara Hukum dengan menempatkan nilai-nilai teologi dan kemanusiaan yang adil dan beradab serta  berkeadilan.

Maksud dan tujuan memastikan penyebab seseorang melakukan pelanggaran/kejahatan menjadi penting dalam penegakan hukum , sehingga keputusan pemidanaan memastikan perlindungan hak-hak seseorang untuk mendapatkan keadilan hakiki.

Negera Hukum yang demokratis dalam proses penegakan hukum dalam memberikan sanksi pemidanaan harus menegakan hukum dengan hukum  atas nama keadilan yang dilandasi nilai-nilai kejujuran nurani. Esensial penegakan hukum negara demokrasi seperti Indonesia harus berdasarkan dasar negara dan ideologi negara yakni Pancasila sebagai sumber hukum.

Pengejawataannya pemidanaan yang dijatuhkan harus  melindungi hak-hak warga negara yang tidak boleh dikurangi, sehingga  sanksi pemindanaan yang diberikan memberi efek jera dan disitulah disebut artikulasi sanksi pemidanaan membawa kemanfaatan dalam penegakan hukum.

Selanjutnya, dalam menerapkan pendekatan penyelesaian tindakan perbuatan melawan hukum dengan sistem Retorative Justice terhadap kasus tertentu dapat dicontoh dan  diterapkan di Indonesia, karena spiritnya berkesesuaian dengan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila.

Di Indonesia pergeseran mindset pemidanaan restruktif menuju Restorative Justice sudah mulai diterapkan oleh tiga institusi penegakan hukum, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara.

Salah satu landasan penerapan restorative justice oleh Mahkamah Agung dibuktikan dengan pemberlakuan kebijakan melalui Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung. Panduan restorative justice dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum yang terbit pada 22 Desember 2020.

Tujuan panduan restorative justice oleh MA adalah mendorong peningkatan penerapan konsep itu dan terpenuhinya asas-asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan dengan keadilan yang seimbang.

Menurut MA, konsep restorative justice bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2.500.000 (Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482).

Selain itu, prinsip restorative justice juga digunakan terhadap anak atau perempuan yang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban atau saksi tindak pidana, hingga pecandu atau penyalahguna narkotika.

Dalam temu ramah Kejati Sumbar yang diwakili Asintel Kejati Sumbar, Aspidum beserta pejabat teras,  dengan Organisasi MOI (Media Online Indonesia) yang dihadiri oleh Ketua MOI Anul, SH, MH beserta pengurus serta awak media (7/6) di Kejati Sumbar dalam mensosialisasi penegakkan hukum yang berkeadilan"Restorative Justice". 


Dalam paparannya Asintel Kejati Sumbar Mutaqfirrin, SH.MH yang didampingi Aspidum Candra, SH, MH beserta pejabat teras Kejati Sumbar menyebutkan Kejaksaan Agung juga menerbitkan kebijakan mengenai keadilan restoratif melalui Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Berdasarkan pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020, pertimbangan untuk melaksanakan konsep keadilan restorative dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum salah satunya karena alasan telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan/afdoening buiten process, hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e Perja Nomor 15 Tahun 2020.

Di dalam Peraturan Jaksa Agung tersebut pada Pasal 3 ayat (3) terdapat ketentuan apabila ingin menyelesaikan perkara di luar pengadilan untuk tindak pidana tertentu dengan maksimum denda dibayar sukarela atau telah ada pemulihan keadaan semula melalui restorative justice.

Institusi Polri melalui Kapolri juga menerbitkan surat edaran pada 19 Februari 2021 yang salah satu isinya meminta penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Yang menjadi fokus utama Sigit dalam penerapan prinsip restorative justice adalah dalam penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016.

Sementara itu, Kapolri menyatakan tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice.

Pelaksanaan prinsip keadilan restoratif juga sudah dilakukan sejak terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

Tiga institusi negara Indonesia yang sudah mulai menerapkan  sistem penegakan hukum Restorative Justice adalah merupakan langkah maju, bahwa tidak semua pelaku tindak pidana harus masuk proses persidangan di Pengadilan. 

Pembaharuan kebijakan ini akan menjadi efektif apabila pengaturannya oleh undang-undang agar, bukan diatur oleh peraturan internal masing-masing  institusi.


#boy/tim



 
Top