Jakarta(SUMBAR)PT- DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 menyebutkan Tiga tantangan besar tengah menghambat pergerakan Serikat Buruh saat ini di Indonesia.

Pertama, masih maraknya “Union Busting” atau Pemberangusan Serikat Buruh. Kedua belum adanya Kepastian Hukum atas persoalan yang dialami Buruh dan Ketiga Lemahnya Pengawasan Pemerintah atas pelanggaran-pelanggaran di bidang Ketenagakerjaan.

“Saat ini tantangan besar yang dihadapi Serikat Buruh adalah soal kesejahteraan yang mengerucut pada ketiga tantangan besar tersebut. Sesuai dengan tema yang diangkat Kongres, yakni ‘Kesejahteraan Buruh Adalah Kekuatan Bangsa Dan Negara, dengan Sub Tema “Buruh Menyongsong Masa Depan Indonesia Tangguh dan Indonesia Tumbuh,” kata Ketua DPP SBSI 1992 Abednego Panjaitan kepada Wartawan di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (25/8).

Menurutnya, Ketiga tantangan besar ini menjadi topik utama yang harus disampaikan SBSI 1992 kepada pemerintah sehingga dapat dijadikan pembahasan nasional dalam membina iklim perburuhan yang baik di tingkat unit kerja dan pada akhirnya akan menciptakan hubungan industrial yang harmonis antara Buruh dan Pengusaha.

SBSI 1992, sambung Abed, merupakan salah satu organisasi Serikat Buruh sebagai alat perjuangan dalam menyampaikan kritik dan solusi kepada pemerintah. 

SBSI 1992 didirikan oleh Tokoh-tokoh besar bangsa seperti mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid disapa Gus Dur, Prof Dr Muchtar Pakpahan, Rachmawati Soekarno Putri dan Sabam Sirait beserta puluhan tokoh Buruh lainnya. 

Akan tetapi dalam perjalanannya, SBSI 1992 mengalami berbagai masalah besar terkait Union Busting seperti yang terjadi di Kota Gunungsitoli, Propinsi Sumatera Utara, dimana Pengusaha nekat mengkriminalisasi pengurus Serikat Buruh tanpa adanya perhatian Pemerintah. 

“SBSI 1992 akan terus menyuarakan kebebasan berserikat dan berkumpul sebagai pondasi perjuangan hak dan kepentingan kaum buruh Indonesia,” timpalnya.

Tantangan kedua, menurut Sekretaris Jenderal Relawan Doakan Jokowi Menang (DJM) Satu Kali ini, negara belum mampu memberikan perlindungan hukum kepada setiap buruh di seluruh Indonesia.

“Artinya siapapun yang membayar upah di bawah UMP adalah pelanggaran. Undang-undang menuliskan itu dengan tinta Emas dalam kemasan produknya, tapi disi lain jutaan kasus pembayaran upah di bawah UMP terjadi di seluruh Indonesia. Ironisnya, tak satupun Pengusaha yang dipenjara karena membayar upah dibawah ketentuan. Disini kami meminta pemerintah memberikan suatu kepastian hukum,” imbuhnya. 

Selain itu, jelas Abed, keputusan hukum atas perkara di tingkat Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), yang apabila kasusnya sudah putus, namun jaminan atas keputusan tersebut masih pula harus diperjuangkan. 

“Saat ini PT SCS Serpong sebagai Perusahaan yang tergabung di dalam Sritex Group mem-PHK 297 Karyawannya. Putusan di tingkat PHI Serang menghukum Pengusaha membayar sekitar Rp.30 Milyar kepada anggota SBSI 1992, memang belum Inkrach, tapi pemerintah harus memberikan kepastian hukum atas kasus seperti ini. Banyak pengalaman yang kita alami, setelah kasus putus di Pengadilan, namun hak-hak Buruh masih harus diperjuangkan bahkan hangus begitu saja. Ini bukti, tidak adanya perlindungan kepada serikat atau buruh sebagai akibat kurangnya perhatian dari pemerintah,” tegasnya.

Abed berharap, pemerintah dapat memberikan kepastian hukum kepada Buruh. Jangan asal membuat produk Undang-Undang tapi tidak ada perlindungannya.

“Bagaimana seorang buruh yang lemah dan miskin melakukan perlawanan, disuruh berperkara, disuruh berlawanan dengan pengusaha yang berduit? Ini menjadi tantangan besar di era sekarang dan ke depannya,” bebernya.

Persoalan ketiga, menurut Abed, lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia. UU sebelumnya maupun UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan yang baru-baru ini dibuat oleh pemerintah terkesan berpihak kepada kaum Buruh, padahal faktanya di lapangan Buruh sangat jarang mendapatkan perlindungan atas persoalan yang dialaminya tersebut.

“Ini terjadi karena lemahnya fungsi pengawas ketenagakerjaan. Padahal, jikalau Pengawasan benar-benar berjalan sesuai aturan, maka itu sangat bagus untuk dijalankan. Tapi pengawas ini justru menjadi mitranya pengusaha. Ketiga hal ini menjadi catatan besar dan menghambat demokrasi dalam pergerakan buruh untuk memperjuangkan hak-haknya,” paparnya.

Ketua Panitia Acara, yang juga Ketua SC SBSI 1992, Iradat Ismail mengatakan, saat ini SBSI 1992 akan menggelar even besar sebagai Program kerja 5 tahunan yang dirangkai juga sebagai alat konsolidasi dalam kegiatan Kongres ke-5 SBSI 1992.

“Tujuannya untuk menelurkan calon pemimpin SBSI 1992. Juga untuk merapatkan tingkat pimpinan cabang SBSI 1992 se-Indonesia,” ujar Iradat didampingi Ketua Panitia Penyelenggara, yang juga Ketua Panitia OC SBSI 1992, Marjuddin Nazwar.

Marzudin menambahkan, kongres yang akan berlangsung pada beberapa pekan mendatang untuk menyiapkan konsolidasi program kerja 5 tahun kedepan dan sebagai proses kaderisasi kepemimpinan nasional.

Namun demikian, mengenai siapa saja yang akan mencalonkan sebagai ketua umum SBSI 1992, hingga kini belum muncul namanya. Tapi nantinya akan muncul dengan sendirinya.

“Tujuannya bagaimana melahirkan pemimpin SBSI 1992 selanjutnya. Kongres ini untuk merapatkan konsolidasi kelembagaan di tingkat pengurus komisariat, pengurus cabang dan pengurus propinsi di seluruh Indonesia. 

Dan saat ini, SBSI 1992 sudah ada di seluruh propinsi dengan total 35 ribu anggota dan basis terbesarnya ada di propinsi Sumatera Utara,” tutup dia.


#ism/boy

 
Top