Padang(SUMBAR)PT - Sosiolog Universitas Islam Negeri Imam Bonjol (UIN IB), Muhammad Taufik menilai, Buya Ahmad Syaf’i Ma’arif (ASM) merupakan tokoh yang mampu menjadikan makrokosmos Minangkabau sebagai pakaian dalam berfikir dan bersikap.
“Meskipun kita tidak banyak melihat dan menemukan gagasan tersebut secara teks, tapi dari alur dan diksi, kita melihat nilai-nilai Minangkabau tersebut hidup dalam gagasan (tulisan) beliau yang banyak tersebar di berbagai forum dan media massa,” ungkap Taufik di Padang, Jumat (25/6/2021) sore.
Penilaian Taufik ini, disampaikan saat jadi salah seorang pembedah buku tentang Buya ASM berjudul Ibu Kemanusiaan: Catatan-catatan Perempuan untuk 86 Tahun Buya Syafii Ma’arif. Buku ini merupakan bunga rampai tulisan 32 orang penulis perempuan dan 2 editor yang juga perempuan.
Buku ini berisi beragam pikiran dan pandangan dalam melihat sosok Buya ASM, sesuai latar belakang penulisnya. Mulai dari aktivis (NGO), seniman, akademisi, sastrawan, pegiat media, politisi serta ulama perempuan dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Tidak ketinggalan pula tokoh agama perempuan dari non-muslim.
Ada 32 orang penulis yang menyumbang tulisan untuk buku, dimana empat orang di antaranya adalah “Bundo Kanduang” (perempuan-red) Minang. Mereka yakni Silfia Hanani, Devi Adriyanti, Ka’bati dan Rezki Khainidar.
Keempat penulis ini dihadirkan dalam kegiatan yang diinisiasi Komunitas Halaqah Budaya di Kampus UNP, Padang. Kegiatan ini didukung UNP, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, SaRang Yogyakarta, Magistra Indonesia, Ruang Kerja Budaya, PPASB, valoranews tv dan Fast.
Dalam paparannya, Taufik menegaskan, Buya ASM merupakan sosok yang memiliki kemampuan dalam memberi sikap tengah, tidak konservatif dan tidak juga liberal, dalam mengemukakan spirit kepemimpinan perempuan menurut Islam dan Negara.
“Cara berpikir Buya Syafii dengan mengelaborasi model neo-modernis Islam dan pendekatan kritis, telah menjadikannya sebagai integritas keislaman yang unik dan independen,” ungkap Taufik yang juga aktivis Tarbiyah-Perti Sumbar.
“Indonesia butuh buya, memberikan kontribusi terhadap pencitraan Islam Indonesia, neo-modernis Islam dan pendekatan kritis,” tambah Taufik yang juga dosen Siyasah Syar'iyyah (Hukum Tatanegara) UIN IB.
Hal senada juga dikatakan Rektor UNP, Prof Ganefri yang juga Ketua PWNU Sumatera Barat tentang buku yang diterbitkan dan diluncurkan tepat di hari ulang tahun, Buya ASM pada 31 Mei lalu. Menurut Prof Ganefri, banyak dari sifat buya yang mesti ditiru publik. Di antaranya, peduli dan rendah hati, mandiri dan egaliter, arif dan bijaksana serta konsisten.
Kemudian, Prof Ganefri berharap, buku ini bisa jadi penguatan dalam perspektif gender ditengah diskursus keislaman, keindonesia dan kemanusiaan. Melihat berbagai sudut pandang perempuan ketika merespon ada ruang dari ketokohan Buya ASM dalam menyampaikan gagasan dan kritikannya.
Selanjutnya, buku ini diharapkan jadi salah satu sumbangan literatur untuk studi kritis tentang gender dalam pesan pluralistik serta penulisnya yang berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang serta organisasi.
“Dalam buku ini, sepertinya para penulis menyetujui pemikiran buya, memberi penguatan pada pemikiran serta menetralisir pandangan negatif oleh segelintir orang pada Buya ASM,” tegas Prof Ganefri.
Penilaian Prof Ganefri ini, tersirat langsung dari testimoni yang disampaikan pembahas lainnya. Seperti, penilaian Ismail Novel, akademisi IAIN Bukittinggi yang juga aktivis Muhammadiyah. Begitu juga pendapat yang disampaikan dua orang budayawan muda Minangkabau, Yusrizal KW dan Zelfeni Wimra.
Dimoderatori budayawan Minang, Bung Edy Utama, keempat penulis berdarah Minang serta para pembahas lainnya, diberikan kesempatan berbicara ataupun mengungkap latar belakang dan motivasi mereka menulis tentang Buya ASM. Pemaparan mereka selain bisa disimak secara daring melalui aplikasi zoom meeting, juga bisa disaksikan di akun youtube valoranews tv
Lebih lanjut, Jumaldi Alfi menyebut diri sebagai salah seorang 'Santri Nogotirto' karena kerap berkunjung ke rumah Buya Syafii di kawasan Nogotirto, Sleman --untuk menimba ilmu dan kearifan dari Buya maupun sekadar silaturahim-- menyebutkan, kerangka acuan buku ini disiapkan dalam rentang relatif waktu singkat, dua bulan.
Kerangka acuan itu antara lain menyoal sedikitnya Buya Syafii membahas masalah perempuan dan ketimpangan gender, yang kemudian jadi sasaran kritik berbagai pihak.
"Para penulis yang telah berkontribusi, merupakan pihak yang paling berjasa terhadap lahirnya buku ini. Para penulis menyambut rencana ini sangat antusias untuk menulis buku yang akan jadi kado bagi Buya Syafii ini," terang Jumaldi Alfi. (relis)